Sebagai salah satu bentuk media massa, majalah mempunyai fungsi pokok yakni sebagai sumber informasi dan sebagai fungsi komunikasi. Menurut Dominick, klasifikasi majalah dibagi ke dalam lima kategori utama, yakni : General consumer magazine (majalah konsumen umum), Business publication (majalah bisnis), Literacy reviews and academic journal (kritik sastra dan majalah ilmiah), Newsletter (majalah khusus terbitan berkala), dan Public relations magazines (majalah humas).
Dalam makalah ini yang menjadi pokok utama bahasan adalah zine yang menjadi media komunikasi khususnya di kalangan komunitas HC/Punk di Bandung. Tema mengenai zine ini diangkat karena dianggap sebagai fenomena yang cukup menarik yang berada diluar media komunikasi massa mainstream lainnya. Jika dimasukkan ke dalam klasifikasi Dominick, bisa termasuk ke dalam kelompok newsletter atau majalah khusus terbitan berkala walaupun ada sedikit yang berbeda. Dijadikannya zine ini sebagai tema utama dalam makalah ini karena merupakan sebuah fenomena yang menarik, dimana dalam penerbitannya ternyata membawa pengaruh yang cukup signifikan terhadap kondisi interaksi dan pemikiran di kalangan komunitas tempat zine itu muncul.
Dilihat dari kemunculannya yang berasal dari orang-orang di kalangan scene HC/Punk, perlu juga ditelaah lebih lanjut. Dimana kemunculannya itu berasal di sebuah komunitas yang sering disebut sebagai komunitas underground. Sehingga perlulah diterangkan sedikit mengenai komunitas HC/Punk ini, agar dapat dipahami mengenai munculnya zine sebagai media komunikasi.
Digunakannya zine sebagai media komunikasi dalam scene HC/Punk menjadi sesuatu yang menarik karena sebagai komunitas minor yang berada dan hidup di jalanan di kota-kota besar ternyata mampu mengorganisir dan dengan keterbatasannya itu bisa melakukan penyebaran informasi dengan efektif.
Zine Sebagai Media Komunikasi dan Ekspresi
Informasi yang dikomunikasikan dalam media zine di kalangan scene HC/Punk sekarang ini isinya sangat beragam seiiring dengan perkembangan jaman. Zine dibuat oleh setiap orang di kalangan scene HC/Punk itu sendiri, jadi setiap orang mempunyai kebebasan untuk membuatnya. Oleh karena itu isi zine sendiri tidak ada patokan atau batasan, karena setiap orang mempunyai kebebasan untuk mengisi zinenya itu dengan segala hal yang diinginkan. Apapun yang dimuat dalam zine itu tergantung dengan sang pembuatnya.
Dari zine-zine yang dibuat oleh scene HC/Punk hampir semuanya isinya sungguh bebas. Tidak adanya sensor atas segala isi yang ingin ditampilkan. Dari mulai gambar-gambar, tulisan, sampai lay out, semuanya tidak ada batasan. Sehingga merupakan sesuatu yang sangat lumrah jika ditemukan kata-kata yang sungguh kasar dan sarkasme dalam tulisan-tulisan di zine-zine itu atau gambar-gambar yang oleh orang timur dianggap tidak senonoh.
Selain sebagai media komunikasi, seringkali zine dijadikan media ekspresi sehingga maksud, tujuan dan perasaan yang ingin diungkapkan oleh pembuatnya dalam zine adalah tanpa batas. Mungkin sesuatu yang membatasi ekspresi itu hanyalah kesadaran si pembuatnya. Untuk menilai apakah zine ini baik atau tidaknya itu semua dikembalikan kepada pihak yang membacanya. Karena esensi dari zine yang tumbuh di kalangan scene HC/Punk ialah kebebasan sebab tidak adanya otoritas yang boleh mencampuri ekspresi manusia.
Ketika keadaan sekitar memungkinkan manusia untuk mengekpresikan perasaannya maka ia akan segera mencari media untuk mengekspresikannya. Begitupun dengan zine, di mana seorang Punk ingin mengekspresikan perasaan ataupun ingin menyampaikan pemikirannya melalui tulisan mengenai suatu hal maka zine bisa dijadikan media itu selain tentu saja musik. Sehingga di saat Punk dengan berbagai ide, pemikiran, dan ideologinya merasa usaha untuk mencapai tujuan yang ingin ia raih ialah melalui zine ini, maka dengan kebebasan yang dimiliki, ia akan membuatnya. Oleh karena itu, isi dari zine-zine yang ada di kalangan HC/Punk selain isinya mengenai segala hal yang berbau musik HC/Punk, mereka pun memuat tulisan-tulisan yang merupakan tanggapan atas keadaan sekitar. Banyak propaganda-propaganda sesuai dengan ideologi si pembuatnya yang dimuat dalam zine termasuk propaganda politik, dalam hal ini kebanyakan berkaitan dengan anarkis dan anti kapitalis. Walaupun ada sedikit kesamaan munculnya zine di berbagai daerah memunculkan kekhasannya tersendiri sesuai dengan situasi kelokalannya masing-masing.
Jika saja adanya peraturan atau perundang-undangan yang melarang dibuatnya tulisan-tulisan yang dianggap melawan pemerintah, itu tidak pernah menjadi kendala berarti dalam pembuatan dan penyebaran zine. Hal ini karena selain pembuatan dan penyebarannya yang terbatas ataupun dijual di tempat-tempat tertentu, biasanya sang pembuat tulisan akan menggunakan nama samaran atau inisial agar identitasnya tidak diketahui umum. Mungkin jika kita melihat peraturan di negara-negara barat yang menjamin kebebasan berekspresi, maka tidak aneh jika isu-isu politik yang kontra pemerintah bisa disebarkan secara luas. Coba bandingkan dengan di Indonesia yang peraturannya serba tidak jelas.
Contohnya ialah zine Profane Existence yang dibuat oleh sebuah kolektif yang namanya sama dengan nama zinenya. Profane Existence zine isinya kebanyakan adalah tulisan-tulisan mengenai tanggapan atas keadaan sosial politik di AS. Dimana informasi yang dimuat dalam zine itu salah satunya berisi data-data kebobrokan AS dalam perang di Timur Tengah, selain opini-opini dari perorangan yang menulis berbagai hal. Ada juga propaganda-propaganda untuk melakukan pemboikotan atau ajakan berdemo menentang kesewenang-wenangan pemerintah. Sebagian besar isu-isu yang diangkat dalam zine ini adalah isu sosial politik yang sedikit banyak berkaitan dengan scene HC/Punk. Hal ini tentu saja menunjukkan bahwa orang-orang dari kalangan scene HC/Punk bukanlah sekelompok pengacau atau pembuat onar, tetapi mereka juga mampu untuk berpikir ilmiah dan berperilaku intelek walaupun dengan bahasa mereka sendiri. Selain mengangkat isu sosial politik, zine yang dikeluarkan di scene Hardcore/Punk ada juga yang mengangkat isu animal liberation, vegetarian, feminisme, straight edge, pencemaran lingkungan, globalisasi dll.
Pada umumnya zine yang dibuat perorangan ataupun kolektif sering berformat fotokopian, sering juga disebut sebagai xeroxzine. Hal ini dimaksudkan agar biaya yang digunakan tidaklah besar karena tinggal memfotokopi. Paling penting dari penerbitan zine ini ialah bahwa mereka yang berasal dari scene Punk tidaklah pernah menganggap adanya aturan atau regulasi atas hak cipta, sehingga mereka sendiri –bisa dikatakan- tidak pernah memberi zine mereka label hak cipta (copyright). Bahkan untuk sebagian zine, si pembuat menulis ajakan untuk memperbanyak zinenya agar informasi yang ada di zine itu bisa disebarkan seluas-luasnya. Sehingga dalam penyebarannya tidak bisa diawasi secara jelas karena setiap orang yang memegang zine bebas untuk memperbanyak dan kemudian menyebarkannya. Ini adalah salah satu kunci keefektifan zine dengan tanpa copyright, yang mampu mengkomunikasikan informasi kepada semua pihak yang merasa tertarik.
Zine di Komunitas Hardcore/Punk Bandung
Musik Hardcore/Punk sendiri diperkirakan telah ada di Bandung sejak pertengahan tahun 1970-an. Sekitar pada tahun 1980-an musik Punk dapat dipastikan telah ada di Indonesia karena orang-orang yang pernah berkecimpung dalam scene Punk pun masih bisa dimintai keterangannya. Musik Punk mulai berkembang seiring dengan trend musik new wave ataupun tari kejang (breakdance) yang sempat mewabah pada tahun 1980-an.
Pada pertengahan tahun 1990-an bisa dikatakan baik musik Punk, Hardcore, maupun musik underground lainnya mengalami perkembangan yang cukup berarti. Hal ini dibuktikan dengan telah adanya beberapa band yang mengeluarkan album secara independen, dan juga mulai marak diadakannya acara-acara musik underground. Pada saat itu Punk di Bandung bisa katakan masih sekedar trend musik, belum dimengerti secara menyeluruh.
Komunitas Punk mulai jelas terlihat sekitar tahun-tahun 1994-1995an. Panggung-panggung untuk musik ini pun semakin banyak dari mulai acara tujuhbelas agustusan sampai acara yang diorganisir secara profesional. GOR Saparua adalah satu saksi bisu berkembangnya Punk di Bandung. Pada tahun-tahun di akhir 90-an, terutama di hari minggu sering diadakan acara musik underground. Tidak jarang dalam sebuah acara disertai dengan kericuhan seperti perkelahian yang sering berujung pemberhentian acara oleh pihak berwenang karena situasi dianggap sudah tidak kondusif. Diantaranya adalah muncul acara seperti Gorong-gorong 1&2, juga Punk Rock Party 1&2. Acara-acara itu juga melahirkan band-band Punk Rock semisal Keparat, Runtah, Jeruji, Turtles Jr, dll. Pada waktu itu komunitas Punk belum diakui oleh masyarakat seperti sekarang karena hanya dianggap sebagai sekelompok anak muda bergaya berandalan yang kerjaannya hanya mabuk-mabukan.
Saat itu Suharto masih berkuasa, dan militer masih sangat ditakuti, tidak ada yang berani mengritik kebijakan pemerintah apalagi menghina aparat. Tetapi hegemoni orde baru mungkin tidak berlaku bagi komunitas Punk/Hardcore. Seakan-akan tidak ada hukum yang berlaku, setiap penampilan panggungnya band Punk berani menghina-hina keotoriteran pemerintah ataupun mencaci aparat karena sewenang-wenang. Subversif mungkin pantas dikatakan untuk kelakuan seperti itu pada saat orde baru, tetapi toh tidak ada tanggapan serius dari pihak berwenang karena mungkin Punk pada saat itu masih dianggap sampah.
Salah satu komunitas Punk di Bandung ialah sekelompok anak Punk yang sering nongkrong di belakang pusat perbelajaan Bandung Indah Plaza (BIP) yang pada saat itu tengah ramai-ramainya karena belum ada mall saingan. Dari komunitas Punk yang sering disebut Barudak PI itu lahirlah sebuah record label yang diberi nama Riotic Record pada tahun 1997. Berawal dari keinginan Chaerul, Dadan “Ketu”, Pam, Azis, Awing.dkk untuk mendirikan sebuah record label yang bisa menjembatani keinginan band-band HC/Punk untuk membuat rekaman, jadilah record label itu didirikan beserta dengan distro(distribution outlet)nya.
Pada awal pendiriannya, Riotic record dan distro sering berpindah-pindah. Seperti pernah memilih di daerah Riung Bandung, Cicadas, Melong Green dan belakang BIP sendiri. Pada saat itu Riotic distro menjual berbagai pernak-pernik band, semisal t-shirt, kaset, dan stiker. Dari usaha untuk menjual pernak-pernik band itu, dibuatlah katalog barang-barang yang dijual di Riotic sebagai cara untuk menginformasikan kepada komunitas Punk lainnya. Dari munculnya katalog itulah cikal bakal dibuatnya zine dan newsletter Punk di Kota Bandung, mungkin juga bisa dikatakan di Indonesia.
Pada awalnya isi dari katalog itu hanya berisi daftar barang-barang yang dijual di Riotic dan hanya sedikit tulisan tentang Punk pada kertas katalog, itu pun agar ruang kosong di katalog tidak percuma. Setelah mempunyai jaringan di antara komunitas baik di beberapa kota besar di Indonesia maupun di luar negeri, mereka sering bertukar informasi maupun berupa barang dan salah satunya adalah dikirimnya sebuah zine -yang oleh anak-anak Riotic sendiri baik isi maupun lay outnya disebut jelek- oleh komunitas Punk dari Singapura. Setelah membaca dan mengamati tampilan zine dari Singapura itu, beberapa orang di Riotic sepakat untuk membuat zine. Dan lahirlah zine/newsletter pertama di kalangan Hardcore/Punk di Indonesia itu, namanya Submissive Riot.
Tahun 1998, di Indonesia apalagi di Bandung pembuatan zine belumlah membudaya seperti sekarang. Hanya ada satu-dua zine yang dibuat oleh komunitas underground Ujung Berung seperti Revogram dan Mindblast, akan tetapi karena peredarannya sangat terbatas sehingga tidak terlalu bisa dikatakan sebagai topangan yang jelas atas munculnya budaya pembuatan zine di Bandung. Paling-paling newsletter hanya bisa ditemukan di mesjid ketika jumatan ataupun di kampus-kampus, dan tidak pernah ada info mengenai anarkisme, pemboikotan korporasi, etos DIY, dan Punk Rock di newsletter mesjid.
Submissive Riot dibuat oleh tiga orang, yakni Pam, Linggo, dan Behom. Awalnya mereka membuat Submissive Riot karena merasa tertantang untuk membuat newsletter/zine yang lebih bagus dari zine yang dikirim oleh teman-temannya di Singapura. Isinya berisi hal-hal yang pada saat itu bisa dikatakan tidak umum, lebih tepatnya seluruh isinya adalah propaganda. Anarkisme bisa dikatakan sebagai ideologi yang sangat mempengaruhi tulisan-tulisan mereka, tidak adanya otoritas yang mendominasi adalah pokok utama tulisan yang mereka buat. Juga upaya pemboikotan perusahaan siap saji McDonnald yang dianggap sebagai perusahaan kapitalis cabang dari negara komprador AS pada saat itu.
Submissive Riot terbit setiap bulan, dalam setiap penerbitannya tiga sekawan itu paling-paling hanya membuat sekitar 30-40 eksemplar dengan format fotokopian. Setiap eksemplar biasanya hanya berisi 4-8 halaman ukuran A5. Zine atau newsletter itu dijual seharga Rp. 500,- sebagai ganti biaya produksi. Peredaran zine ini dijual hand-to-hand kepada teman-teman mereka sendiri, dan karena pada saat itu merupakan sebuah fenomena yang baru pada kultur Punk di Bandung sehingga setiap kali penerbitan selalu habis. Untuk setiap Submissive Riot yang dibeli selalu dianjurkan untuk memfotokopinya lagi untuk disebarkan, jadi jika setiap edisinya yang diketahui hanya ada sekitar 30-40 eksemplar tetapi untuk keseluruhan Submissive Riot yang tersebar tidaklah dapat diketahui jelas. Oleh karena itu penyebaran zine ini cakupannya sungguh luas, selain karena setiap orang mempunyai kebebasan untuk memperbanyaknya, distribusi zine ini juga disebarkan diantara komunitas-komunitas Punk di kota-kota besar di Indonesia. Submissive Riot dapat tersebar di beberapa kota selain Bandung seperti Jakarta, Yogyakarta, Malang, Surabaya, Lampung, Medan, Pontianak, bahkan sampai ke Menado dan Ujung Pandang.
Munculnya Submissive Riot ternyata mendapat respon yang beragam. Pembuatan zine dan newsletter menjadi mewabah di kalangan scene HC/Punk baik di Bandung maupun kota-kota lainnya. Karena biasanya komunitas Punk lainnya yang mendapat newsletter ini, kemudian merasa tertarik untuk membuatnya sehingga ibarat jamur di musim hujan, pembuatan zine semakin banyak dan meluas. Tentu ini dampak yang positif, setidaknya budaya tulis dan baca meningkat walaupun hanya untuk segelintir pihak dalam komunitas.
Sedangkan tanggapan dari pihak aparat berwenang tidak ada sama sekali. Hal ini juga cukup menarik karena pihak pemerintah serta aparaturnya sering menjadi objek tulisan-tulisan mereka ini, apalagi ditulis dengan bahasa yang sarkasme, ternyata tidak memberi respon apa-apa. Bahkan jika digolongkan ke dalam ‘selebaran gelap’ subversif yang menghasut pun, newsletter ini tidak masuk kategori BAKIN. Penyebabnya ternyata tulisan-tulisan dalam Submissive Riot tidak dianggap secara serius atau bahkan dianggap bualan sesaat baik oleh pihak pemerintah ataupun masyarakat awam lainnya. Punk yang pada waktu hanya dianggap sebagai sekelompok anak muda yang berpakaian kotor seperti gembel menjadikan dikotomi itu melekat dalam benak masyarakat. Sehingga disaat mereka mengeluarkan pernyataan-pernyataannya melalui tulisan, hal itu tidak ditanggapi sama sekali.
Submissive Riot hanya bertahan sekitar satu tahun, atau sekitar 12-13 edisi. Alasan berhentinya pembuatan zine ini kurang jelas tetapi bisa jadi karena tiga orang pembuatnya yang mulai memasuki kegiatan politik praktis. Sekitar tahun 1999, mereka bertiga telah dikenal sebagai “corong” PRD, bahkan bisa menempati posisi-posisi strategis dalam aliansi gerakan kota.
Selanjutnya akan dibeberkan mengenai salah satu zine yang cukup legendaris di kalangan scene Hardcore/Punk baik di Bandung maupun di kota lainnya. Zine yang baik format maupun tulisan-tulisannya banyak diperbincangkan bahkan diperdebatkan. Inilah zine yang ternyata membawa sang editornya ke pintu karir yang menjanjikan, ya inilah Tigabelas Zine.
Tigabelas zine mulai dibuat pada tahun 1998 oleh Arian yang pada waktu itu dikenal sebagai vokalis band yang menjadi ikon HC Indonesia, Puppen. Arian sebagai editor dalam pengerjaannya dibantu oleh Ucok Homicide sebagai kontributor tetap. Setelah kemunculan Submissive Riot di tahun yang sama, Arian membuat zine sebagai proyek sampingannya selain sibuk di bandnya. Edisi pertama Tigabelas zine terbit pada bulan Agustus 1998.
Format Tigabelas zine adalah fotokopian ukuran A5 dan dihadirkan dengan lay out yang eye catching setiap halamannya yang rata-rata berjumlah sekitar 60 halaman setiap edisinya. Terbitnya zine ini sangat tidak teratur, tergantung nasib sang editor, dan karena ini bukanlah sebuah penerbitan majalah yang terorganisir dengan baik jadi tidak ada deadline dalam pengumpulan materinya. Bahkan rentang waktu antara Tigabelas edisi ke edisi berikutnya selalu terlambat dari jadwal yang ditentukan sebelumnya. Tetapi karena zine ini merupakan sebuah fenomena yang sungguh menarik dalam dunia penerbitan media sehingga selalu di tunggu-tunggu oleh pembacanya baik dari kalangan scene Hardcore/Punk maupun luar.
Kolom-kolom yang ada dalam zine ini antara lain adalah :
Kolom 13. Dalam kolom ini terdapat opini tamu yang berasal dari teman-teman editor sendiri di scene HC/Punk di Bandung. Selain berisi opini mengenai perkembangan HC/Punk, sering juga berisi tulisan berbau politik, puisi, unek-unek, bahkan dumelan dari sang kontributor.
Scene Report. Dalam bagian ini berisi laporan-laporan dari perkembangan scene HC/Punk di luar kota Bandung, seperti dari Malang, Bekasi, Yogyakarta bahkan dari kota-kota di negara-negara Asia Tenggara. Laporan ini di dapat oleh sang editor dengan mengadakan kontak langsung dengan scenester di kota-kota itu, bisa sang editor datang langsung ke kota-kota itu ataupun scenester dari luar kota yang memberi laporan sendiri agar kegiatannya diliput, ataupun melalui email jika sang sumber berasal dari luar negeri.
Interview. Dalam bagian ini memuat hasil interview/wawancara dengan band, editor zine atau orang-orang yang berkecimpung dalam scene HC/Punk lainnya. Interview dilakukan oleh sang editor dengan bertemu langsung si sumber, ataupun melalui email jika tempat si sumber berada di daerah yang cukup jauh, semisal interview dengan band dari New York, maka interview dilakukan via email. Selain itu, editor bisa juga memuat hasil interview dari majalah lain seperti hasil interview band The Business oleh majalah punk Maximum Rock’N’Roll, hasil interview itu dimuat dalam Tigabelas zine dengan mencantumkan pula sumbernya.
Artikel. Tema yang diangkat dalam tulisan di artikel pada zine bermacam-macam, seperti cerita mengenai tokoh antara lain Mahatma Gandhi dan Wiji Thukul, ataupun tema mengenai animal liberation, dan juga memuat tentang undang-undang yang menjamin kebebasan berpendapat yang bahannya di dapat LBH setempat.
Resensi Rekaman. Isinya adalah resensi rekaman yang dilakukan oleh Arian dan Ucok. Resensi adalah hal sangat subjektif, karena itu dalam resensi rekaman ini Arian dan Ucok mengeluarkan pendapatnya atas rekaman-rekaman yang mereka anggap menarik untuk di resensi. Tidak semua yang diresensi isinya bagus atau memuji karena terkadang sang peresensi melakukan sindiran dan kritik atas rekaman yang ia dapat.
Resensi Majalah dan Buku. Disini Arian dan Ucok melakukan resensi pada majalah atau buku yang mereka baca. Majalah yang diresensi biasanya adalah majalah atau zine yang berbau HC/Punk baik dari dalam maupun luar negeri. Sedangkan buku yang diresensi tidak hanya buku-buku yang ber’atmosfer’ HC/Punk tetapi juga ada buku ‘serius’ yang mereka resensi semisal buku-buku politik. Salah satunya ialah buku berjudul Pemikiran Karl Marx, yang masuk resensi dalam Tigabelas zine edisi ketiga. Selain berisi tulisan-tulisan yang semuanya mempunyai relevansi tehadap pergerakan scene HC/Punk, zine ini juga banyak menampilkan iklan-iklan yang masih berbau HC/Punk semisal desain iklan dari riotic record, reverse, ataupun kampanye-kampanye animal liberation.
Setiap edisinya Tigabelas zine dijual sekitar Rp.3000 – Rp.5000 tergantung ketebalannya, untuk mengganti ongkos produksi. Usaha penyebarannya secara hand-to-hand merupakan cara penjualan yang efektif, selain karena dijual di lingkungan sendiri, zine pada waktu itu juga masih merupakan (sekali lagi) fenomena baru di kalangan komunitas scene HC/Punk. Dari setiap edisinya pun zine ini selalu sold out.
Melalui media zine yang dibuat ini Arian dan Ucok secara tidak langsung memacu orang-orang untuk membuat zine dan mulai berpikir bahwa dibalik HC/Punk ada misi dan movement. Selain itu, melalui Tigabelas zine ini anak-anak muda dipacu untuk tidak hanya menyukai dan mendengarkan hardcore dan punk saja, tetapi lebih mendalaminya dan ber”attitude” dalam bermusik.
Karena sang editor tidak melabelkan hak cipta pada zine ini bahkan ia sendiri mengusulkan untuk memperbanyaknya sehingga penyebarannya sangat luas. Di komunitas scene HC/Punk sendiri baik tertulis maupun tidak, mereka tidak mengakui adanya hak cipta (copyright). Sehingga bukan sesuatu yang akan berbuntut masalah jika seseorang memperbanyak rekaman atau zine dari lingkungan HC/Punk sepanjang tidak untuk mendapat keuntungan.
Respon terhadap zine ini juga bermacam-macam. Banyak orang di kalangan komunitas musik underground lainnya kemudian mulai membuat zine juga, dan orang-orang di luar komunitas itu pun mulai melirik media zine sebagai media komunikasi alternatif.
Zine yang fenomenal ini hanya sanggup bertahan 4 edisi (terbit tahun 2001), dan merupakan suatu yang luar biasa pada saat itu dengan penjualan dari 4 edisi mencapai lebih dari 1000 eksemplar (menurut sang editor). Alasan berhentinya pembuatan zine ini pun dikarenakan editornya, Arian sibuk dengan kegiatannya yang lain. Sedangkan Ucok yang pada nomor empat sudah tidak lagi menjadi kontributor Tigabelas zine, di tahun 1999-2000 Ucok sempat meluncurkan zinenya sendiri yang diberi nama Membakar Batas.
Arian sendiri kemudian sempat ikut terlibat dengan pembuatan majalah-majalah yang dibuat secara independen, seperti majalah Ripple dan Trolley dimana ia menjadi musik director. Majalah Trolley sendiri akhirnya bangkrut setelah terbit kurang lebih 10 edisi (edisi terakhir terbit sebanyak 5000 eksemplar) karena kehabisan modal. Sedangkan majalah Ripple sampai sekarang mampu bertahan dan semakin berkembang, bahkan dianggap menjadi salah satu majalah avant-garde dalam media independen. Sekarang ini Arian bekerja sebagai seorang editor di majalah Playboy Indonesia, setelah sebelumnya sejak tahun 2002 bekerja di majalah MTV Trax sebagai senior editor.
Zine Hari Ini
Dua zine yang telah dibahas tersebut bisa dikatakan sebagai pencetus munculnya media komunikasi cetak yang dibuat secara independen. Baik Submissive Riot maupun Tigabelas zine merupakan salah satu bentuk media komunikasi alternatif diluar media yang telah ada sebelumnya.
Setelah era Submissive Riot dan Tigabelas Zine, muncul zine-zine baru baik dari kalangan scene HC/Punk maupun dari luar yang merasa tertarik dengan zine sebagai media baru. Dari orang-orang di kalangan scene HC/Punk kemudian muncul Kontaminasi Propaganda, Membakar Batas, Puncak Muak, Shaterred, Lysa Masih Bangun, Akuadalahaku, Emphaty Lies Far Beyond, New Noise, Rebelliousickness, Cukup Adalah Cukup, Lady Anarchy dll. Kesemuanya itu mengusung tema yang bermacam-macam seperti Cukup Adalah Cukup dan Lady Anarchy yang menjadikan isu feminisme sebagai isu utama zinenya, kemudian Emphaty Lies Far Beyond yang berisi semacam hal semisal globalisasi dan neo liberalisme, dsb. Tetapi kesemua zine itu sekarang ini bisa dikatakan sudah mati karena berbagai alasan.
Zine generasi terbaru (bisa dikatakan begitu) yang terbit di scene HC/Punk Bandung sekarang diantaranya Beyond The Barbed Wire, Lapuk, Hardcore Heroes vs Punk Partisans. Para pembuat zine itu tetap berasal dari scene HC/Punk yang masih ingin mempertahankan budaya penulisan zine ditengah gempuran majalah-majalah glossy anak muda yang hanya menjual gaya hidup.
Beyond The Barbed Wire (selanjutnya BtBW) dibuat oleh Tremor yang juga mantan vokalis band Rajasinga. Zine yang telah keluar dalam dua edisi ini dicetak rata-rata 100 eksemplar per edisinya, dengan harga edisi pertama Rp 3500 dan edisi kedua karena dibuat lebih tebal dijual seharga Rp 5000. Dengan adanya jaringan pertemanan yang cukup baik di dalam scene HC/Punk memudahkan pendistribusian zine dari kota ke kota. Dalam hal ini Dani mampu membuka jaringan sehingga BtBW bisa didistribusikan sampai ke berbagai kota di Jawa dan yang paling jauh ialah kota Menado. Caranya dengan mengirimkan master hasil print BtBW ke teman di kota lain, kemudian yang menerima master tersebut akan menggandakannya lagi untuk di sebarluaskan. Sedangkan keuntungan penjualannya seluruhnya untuk kemajuan scene HC/Punk di kota yang menyebarluaskannya, jadi dari penjualan itu Dani sama sekali tidak mendapat keuntungan.