Rabu, September 02, 2009

Keberanian Bernama Munir

Masih ingatkah Anda pada kasus terbunuhnya penggiat HAM Munir Said Thalib di pesawat saat perjalanan ke Belanda pada 7 September 2009 lalu? Tepat tanggal itu di tahun ini, genap 5 tahun peringatan meninggalnya Munir. Pria kelahiran Malang Jawa Timur 8 Desember 1965 ini, meninggal akibat keracunan arsenik dalam dosis yang sangat fatal. Dan hingga kini, penanganan kasus ini masih gelap. Terutama karena belum terungkapnya dalang utama skenario penghilangan nyawa mantan direktur Imparsial dan KONTRAS ini. Tak dapat dipungkiri, kehadiran seorang Munir memberikan arti baru keberanian di Indonesia. Bagaimana tidak, di saat rezim Orde Baru sedang sangat kuat dan kalangan militer seakan kebal hukum, Munir berani mengambil sikap “berseberangan” dengan mereka.

Kick Andy episode ini ingin mengingatkan kembali kenangan pada sepak terjang Munir dalam memperjuangkan kebenaran dan keadilan bagi “wong cilik”. Bagaimana sejarah “keberanian” itu muncul di dalam diri Munir semenjak kecil di lingkungan keluarga dan tempat ia beranjak dewasa, hingga akhir hidupnya. Begitu pula interaksinya dengan sesama kalangan penggiat HAM di Indonesia, para korban dan keluarga korban yang mendapat pendampingan hukum darinya, serta kalangan yang mengenal Munir secara awam.

Suciwati, istri almarhum Munir, mengungkapkan bahwa sebuah kehilangan yang amat besar dengan meninggalnya Munir. Paling tidak orang-orang kecil yang pernah mendapatkan perlindungan dan advokasi darinya. Misalnya para buruh dan petani yang sebelumnya selalu pasrah saat “didzalimi” hak-haknya, jadi bangkit saat tahu bagaimana seharusnya mempertahankan keadilan bagi mereka. Begitu juga saat ia mengadvokasi kasus penculikan aktivis pada 1997-1998, kerusuhan Mei 1998, kasus Trisakti dan sejumlah kasus lainnya. Munir menjadi obor pencerahan bagi orang-orang yang sebelumnya benar-benar buta hukum, menjadi sadar dan mau berjuang menegakkan hak-haknya.

Sisi-sisi humanis seorang Munir, diangkat melalui pandangan rekan-rekannya sesama aktivis HAM. Bagaimana seorang Sandyawan Sumardi, atau lebih dikenal dengan Romo Sandyawan, memandang Munir sebagai seorang religius sejati dalam memandang konsep-konsep keadilan dan perdamaian. Juga dari Ikrar Nusa Bakti, yang menyebutkan bahwa asas imparsial atau ketidak berpihakan Munir, mampu membawanya sebagai orang yang pada satu sisi memperjuangkan kalangan yang terlanggar hak asasinya oleh pihak militer, namun pada saat bersamaan juga mau mendampingi anggota keluarga militer yang membutuhkan bantuan hukum.

Sejumlah penghormatan dan penghargaan pun, dibuat untuk Munir. Mulai dari buku-buku yang menceritakan sosok Munir dari berbagai sisi, film dokumenter tentang sepak terjangnya, hingga sebuah ajang lomba cipta lagu yang didedikasikan untuknya. Juga tahukah Anda bahwa ada sebuah masjid di kawasan Aceh Barat, dinamai Masjid Munir?

Pada saat hidupnya, tidak sedikit pula orang yang mencibir Munir. Banyak orang menuduhnya tidak nasionalis dan menjadi antek barat, juga bahwa ia menerima banyak dana dari luar negeri. Hal itu dijawab Suciwati dengan sejumlah contoh. Jika saja memang benar Munir mendapatkan banyak kucuran dana dari luar negeri, bagaimana bisa hingga akhir hidupnya seorang Munir tak memiliki tabungan sepeserpun yang bisa diwariskan untuknya dan kedua anaknya. Bahwa untuk membeli seekor ayam jantan seharga seratus lima puluh ribu rupiah saja, ia harus berpikir-pikir ratusan kali. Juga bahwa untuk membeli mobil pun, ia terpaksa membeli sebuah mobil bekas seharga sepuluh juta rupiah dengan mencicil.

------

Source: kickandy.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar